Malam ini Ramadan Taqobbalallahu Minna Waminkum
  • 10 Mar 2025

Ramadan bukan sekadar bulan menahan lapar dan dahaga, melainkan juga perjalanan ruhani. Di dalamnya, manusia diingatkan akan tujuan tertinggi: mengenal Tuhan dan keindahan-Nya, agar kita dapat menyembah Sang Kekasih dan bagaimana Ramadan menjadi momen mendalam untuk membersihkan hati, menata niat, dan menemukan kembali makna sejati keberadaan kita di dunia.

Mengapa Ramadan Adalah “Journey to the Soul”?

Ramadan adalah bulan ke-9 dalam kalender Hijriyah yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslimin untuk berpuasa. Firman Allah dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 183) menegaskan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Selain menahan lapar dan dahaga, Ramadan mengajak kita menahan nafsu dan segala hal yang dapat mengeruhkan hati. Di sinilah letak kekuatan spiritualnya: ia menjadi sarana penyucian jiwa.

Seorang ulama besar, Imam Al-Ghazali, menyebutkan bahwa puasa bukan sekadar menahan diri dari makanan dan minuman, melainkan mengekang segala indera dari hal-hal yang menjauhkan kita dari Sang Pencipta. Dalam pandangan Islam, tujuan hidup seorang Muslim adalah untuk mengenal Tuhan (ma’rifatullah) dan menyaksikan Keindahan Ilahi (jamalullah), sehingga ia dapat menyembah-Nya dengan cinta dan kesadaran penuh. Oleh sebab itu, Ramadan disebut “Journey to the Soul”—proses mendekatkan diri ke Tuhan, menelusuri inti batin kita, dan memperkuat hubungan dengan Sang Beloved.

Artikel ini akan menyoroti berbagai aspek yang menjadikan Ramadan sebagai perjalanan spiritual, mulai dari menata niat, menjaga lisan dan perbuatan, hingga meningkatkan kepekaan sosial. Kita juga akan melihat bagaimana Ramadan dapat membuka pintu ma’rifatullah (pengenalan Tuhan) yang lebih mendalam, sehingga kita pun semakin mampu beribadah dengan cinta dan kerinduan.

 

Menata Niat dan Menghadirkan Kesadaran Ilahi

Niat Sebelum Fajar

Sebelum memulai puasa di waktu sahur, kita dianjurkan menata niat dengan sungguh-sungguh. Para ulama menekankan bahwa niat ini bukan hanya formalitas, melainkan peneguhan dalam hati bahwa segala amal di siang hari adalah untuk mencari rida Allah. “Nawaitu shauma ghodin…,” sering kita ucapkan, tetapi lebih penting lagi memahami esensinya: “Ya Allah, aku berpuasa esok hari karena Engkau.”

Di sinilah proses awal journey to the soul: menanamkan kesadaran bahwa kita hidup di bawah pandangan Allah. Ketika menata niat, kita melepaskan diri dari motif duniawi—baik itu menurunkan berat badan, kebiasaan, atau sekadar tradisi—menuju motif yang murni: ingin mendekat pada-Nya.

Menghadirkan Ihsan dalam Keseharian

Rasulullah SAW bersabda tentang ihsan: “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu.” (HR. Bukhari). Ramadan menjadi momentum menghadirkan ihsan itu dalam setiap langkah. Misalnya, saat bekerja, kita menahan diri dari kecurangan karena sadar Allah mengawasi. Saat berinteraksi, kita memilih kata-kata lembut karena tahu Allah menyukai kelembutan.

Inilah transformasi spiritual: dari sekadar “tidak makan-minum” menjadi “beramal dan berinteraksi dengan landasan cinta kepada Sang Pencipta.” Seperti ungkapan, “puasa itu benteng,” menahan kita dari segala yang sia-sia, membuat hati lebih peka terhadap bisikan Ilahi.

 

Menjaga Lisan, Pandangan, dan Tindakan

Lisan yang Terjaga

Selama Ramadan, menjaga lisan agar tidak berdusta, mengumpat, atau menebar fitnah menjadi lebih krusial. Puasa akan terasa hampa bila mulut kita terus mengeluarkan kata-kata buruk. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari). Artinya, esensi puasa adalah menahan diri dari segala bentuk keburukan, bukan sekadar lapar dan haus.

Menahan Pandangan

Godaan zaman modern amat besar, terutama di era digital. Meski berpuasa, seseorang bisa saja “membatalkan” kesucian puasa dengan pandangan yang tak terjaga—misalnya menonton konten negatif di ponsel. Di sinilah Ramadan melatih kita untuk menjaga pandangan (ghaddul bashar). Begitu pula menahan diri dari hal-hal yang memancing syahwat. Proses ini membersihkan hati, mendekatkan kita pada kesadaran Ilahi.

Memperbaiki Tindakan

Puasa di siang hari mengingatkan kita untuk lebih sabar dan peduli. Ketika lapar, kita merasakan langsung bagaimana orang miskin kerap merasakan kekurangan. Lalu, kita terdorong untuk berempati, bersedekah, dan menjaga sikap santun. Journey to the soul pun kian nyata—karena dengan merasakan lapar, kita paham betapa nikmatnya rezeki Allah, dan betapa perlunya kita berbagi.

 

Meningkatkan Kepekaan Sosial

Memberi dan Bersedekah

Ramadan dikenal pula sebagai bulan kedermawanan. Dalam hadis, Rasulullah SAW lebih dermawan di Ramadan daripada bulan lainnya. Mengapa demikian? Karena saat lapar, kita menyadari bahwa harta hanyalah titipan. Sedekah pun menjadi bentuk rasa syukur dan cinta pada Allah. Semakin banyak memberi, semakin ringan hati dari beban cinta duniawi.

Momen Buka Puasa Bersama

Berbuka puasa atau iftar tak hanya melegakan perut, tetapi juga menyatukan hati-hati dalam kebersamaan. Di banyak masjid, iftar bersama menjadi ajang silaturahmi. Orang kaya dan miskin duduk berdampingan, menegaskan bahwa di hadapan Allah, kita setara. Ini membangun semangat ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan Islam) yang sejati.

Mengunjungi Tetangga dan Kerabat

Tradisi di beberapa wilayah muslim, termasuk di negara-negara Asia, Afrika, dan Timur Tengah, adalah saling mengantarkan takjil atau hidangan berbuka ke rumah tetangga. Tindakan kecil ini merekatkan sosial, menumbuhkan rasa peduli. Sehingga Ramadan bukan sekadar ibadah individual, melainkan ibadah komunal yang menembus dinding perbedaan status sosial.

 

Memperdalam Hubungan dengan Al-Qur’an

Bulan Diturunkannya Al-Qur’an

Ramadan disebut pula Syahrul Qur’an, karena di bulan inilah Al-Qur’an pertama kali diturunkan. (QS. Al-Baqarah: 185). Umat Muslim didorong untuk memperbanyak membaca, tadabur, dan menghafal Al-Qur’an selama Ramadan. Aktivitas ini menghubungkan jiwa kita dengan Kalam Ilahi, memperkuat iman, dan mencerahkan hati.

Tadarus dan Tadabur

Tadarus (membaca Al-Qur’an bersama) sering diadakan di masjid atau surau setelah tarawih. Dengan tadabur, kita merenungkan makna ayat-ayat. Proses ini ibarat “nutrisi ruhani” yang memperdalam pengenalan kita pada sifat-sifat Allah. Seperti kata pepatah: “Jika ingin bicara dengan Allah, dirikanlah shalat; jika ingin Allah bicara denganmu, bacalah Al-Qur’an.”

Mencari “Lailatul Qadr”

Pada 10 malam terakhir Ramadan, umat Islam mencari Lailatul Qadr—malam lebih baik dari seribu bulan (QS. Al-Qadr: 3). Ibadah di malam itu diyakini memiliki pahala luar biasa. Bagi yang merasakan kenikmatan ruhani, Lailatul Qadr seakan “puncak” dari journey to the soul: merasakan kehadiran Ilahi yang begitu dekat, menembus batas indera.

 

Mencapai Ma’rifatullah—Tujuan Tertinggi

Konsep Ma’rifatullah

Bagi seorang Muslim, “tujuan eksistensi adalah mengenal Tuhan dan keindahan-Nya” agar bisa menyembah-Nya dengan penuh cinta. Ma’rifatullah berarti pengetahuan mendalam tentang sifat-sifat Allah. Dalam Ramadan, pintu ma’rifat terbuka lebar melalui puasa, shalat malam, dan zikir.

Imam Al-Ghazali dalam “Ihya ‘Ulumuddin” menjelaskan bahwa puasa sejati adalah “puasa hati”—meninggalkan segala pikiran duniawi yang menghalangi cahaya Ilahi masuk ke dalam dada. Momen lapar dan haus menajamkan kesadaran bahwa kita lemah tanpa pertolongan-Nya.

Dzikir dan Shalat Malam

Selama Ramadan, banyak orang menambah intensitas shalat malam (qiyamul lail atau tarawih). Dzikir dan doa di waktu sahur atau menjelang Subuh dipercaya sebagai saat-saat mustajab. Dengan mengulang asma Allah, hati menjadi tenang (QS. Ar-Ra’d: 28). Inilah titik di mana kita “menemui” Sang Pencipta dalam kesunyian malam, merasakan getaran spiritual yang sulit dilukiskan kata.

Rasa Cinta kepada Sang Beloved

Dalam tradisi sufi, Allah disebut “Al-Mahbub” (Sang Kekasih). Ramadan menumbuhkan benih cinta itu. Saat menahan nafsu, kita sadar segala kenikmatan hakiki hanya datang dari Allah. Ketika berbuka, kita merasakan kebahagiaan luar biasa, tanda cinta-Nya pada hamba. Semakin kita merasakan cinta ini, semakin kita terdorong untuk menyembah-Nya dengan sukacita, bukan paksaan.

 

Tantangan Modern di Bulan Ramadan

Godaan Konsumtif

Ironisnya, di beberapa tempat, Ramadan justru menjadi bulan konsumtif. Aneka makanan lezat bermunculan, bazar Ramadan ramai, hingga orang terkadang makan berlebihan saat iftar. Hal ini bisa menjauhkan kita dari esensi puasa yang mengajarkan kesederhanaan.

Tips: Pertahankan pola makan seimbang, hindari berlebihan. Menurut para ahli gizi, berbuka dengan kurma dan air putih, dilanjutkan porsi makan sedang, sudah cukup mengembalikan energi tanpa membebani pencernaan.

Media Sosial dan Distraksi Digital

Di era digital, smartphone dan media sosial bisa menjadi pengalih terbesar. Alih-alih khusyuk beribadah, banyak orang malah terpaku pada notifikasi. Ramadan menuntut kita cerdas mengatur waktu online, agar tak terjebak di dunia maya yang memicu kelalaian.

Waktu dan Jadwal

Puasa mengubah jam makan dan tidur. Bagi pekerja kantoran, menyeimbangkan sahur, iftar, tarawih, dan jam kerja bisa menantang. Kuncinya adalah manajemen waktu dan prioritas. Bekerja efisien di siang hari, lalu memanfaatkan malam untuk ibadah. Menurut pengalaman banyak orang, awal Ramadan mungkin terasa berat, tapi tubuh beradaptasi dalam beberapa hari.

 

Ramadan sebagai “Journey to the Soul”

Ramadan bukan semata menahan lapar-haus. Ia adalah proses transformasi—menyucikan niat, menahan lisan, mengontrol pandangan, meningkatkan empati sosial, dan memperdalam ma’rifatullah. Di bulan suci ini, kita diingatkan bahwa tujuan hidup sejati adalah mengenal Tuhan dan keindahan-Nya, agar kita dapat menyembah-Nya sebagai Sang Beloved.

Pada akhirnya, Ramadan mengajak kita semua, Muslim maupun non-Muslim yang menyaksikannya, untuk menghargai kekuatan disiplin spiritual. Puasa menanamkan rasa syukur, melatih pengendalian diri, dan mengajarkan solidaritas sosial. Inilah “Journey to the Soul” yang mendekatkan manusia pada hakikat: Allah-lah sumber segala kebaikan, dan kita hanyalah hamba yang bergantung pada kasih sayang-Nya.

Semoga setiap tarikan napas selama Ramadan ini memperdalam cinta kita pada Sang Pencipta, meningkatkan kualitas ibadah, dan menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama makhluk. Ketika Ramadan usai, semoga kebiasaan baik ini terus berlanjut, menjaga jiwa tetap bersih dan hati tetap terhubung pada-Nya.***

Tertarik menggali lebih jauh seputar spiritualitas, kebiasaan hidup sehat, atau kisah-kisah inspiratif dari berbagai tradisi keagamaan? Jelajahi artikel-artikel Metavora lainnya. Kami menghadirkan pandangan mendalam, tips praktis, serta wawancara eksklusif dengan tokoh agama, pakar nutrisi, dan peneliti budaya. Jadilah bagian dari komunitas pembaca yang bersemangat menelusuri makna hidup dan memperkaya jiwa!

Ummu Shalamah

Books reader