Malam ini Ramadan Taqobbalallahu Minna Waminkum
  • 10 Mar 2025

Kenapa cowok bisa begitu manis dan perhatian, lalu mendadak menghilang tanpa jejak? Artikel ini menelisik fenomena “ghosting” yang ramai di TikTok, dari kisah cinta tiba-tiba jadi bencana hingga penjelasan pakar. Simak pengalaman korban, alasan psikologis di baliknya, dan tips menghadapi “cinta kilat” yang berujung sunyi.

Dunia percintaan modern seolah tak habis-habis menyuguhkan drama baru. Belum tuntas isu “love bombing,” kini muncul fenomena “ghosting” yang semakin ramai diperbincangkan. Ghosting adalah ketika seseorang, biasanya pria (meski perempuan juga bisa melakukannya), tiba-tiba memutus kontak tanpa penjelasan setelah sebelumnya bersikap amat manis dan romantis.

Sebetulnya, ghosting bukanlah hal baru. Banyak orang pernah mengalaminya bahkan sebelum era internet. Namun, di era digital, gejalanya kian masif. Kita sering mendapati kisah “dia intens chat tiap pagi, lalu hilang tanpa pamit” atau “kemarin bilang ‘aku cinta kamu’, hari ini sudah blokir WA.” Pertanyaannya, kenapa bisa sedemikian cepat? Apakah benar mereka berubah pikiran dalam semalam, ataukah ada proses panjang di baliknya?

Tren terbaru di TikTok memperkuat fenomena ini. Kreator seperti Taylor Rosen mengunggah video “POV: Cowok sebelum ghosting,” menirukan gaya pria yang tiba-tiba mengajak rencana besar—mulai dari liburan ke luar negeri, kenalan dengan keluarga, sampai bicara soal pernikahan—hanya untuk menghilang esok harinya. Video semacam ini mendapat ribuan komentar dari wanita yang merasa “terwakili,” seakan menegaskan bahwa kasus ghosting massal ini nyata dan meluas.

Beberapa contoh kisahnya pun ekstrem. Ada pria yang mengajak pasangannya mengunjungi makam ayahnya dan berujar, “Sekarang, aku yang akan menjaga putrimu,” namun seminggu kemudian memutuskan hubungan. Ada pula yang mengatakan “kita harus terbiasa saling terbuka, kan kita akan menikah,” lalu tak pernah kembali setelah sekadar keluar rumah untuk merokok. Bukan cuma hubungan baru, tapi hubungan jangka panjang juga bisa berakhir tiba-tiba, seperti cerita Jillian Lavin yang pacarnya mendadak memutuskan setelah tiga tahun lebih bersama.

Pertanyaannya, mengapa banyak pria sanggup berperan seolah-olah “super in love,” padahal di balik itu mereka menimbang-nimbang untuk pergi? Apakah ini sekadar taktik untuk menghindari rasa bersalah? Ataukah sebuah gejala sosial di mana semua orang mudah berganti pasangan karena ada banyak opsi di aplikasi kencan? Di artikel ini, kita akan menelisik latar belakang budaya, pengalaman korban, analisis pakar, dan tentu saja tips agar Anda tidak mudah terjebak.

 

Budaya “Cinta Kilat”

Jika kita mundur ke dekade lalu, istilah ghosting belum sepopuler sekarang. Namun, pola perilakunya sudah ada: seseorang menghilang tanpa kabar setelah intens mendekati. Hanya saja, media sosial mempercepat segalanya. Sekarang, kita bisa bertemu orang baru lewat aplikasi dating, intens chat sehari semalam, dan merasa “begitu dekat” hanya dalam seminggu. Ketika perasaan itu meletup terlalu cepat, banyak hal belum dipikirkan secara matang.

Budaya “Cinta Kilat” (instant love) ini didukung oleh:

  1. Aplikasi Kencan: Tinder, Bumble, Hinge—semua memfasilitasi pertemuan cepat, chat intens, dan kadang “love bombing.”
  2. Mudahnya Pindah ke Lain Hati: Jika bosan atau ragu, orang merasa lebih gampang kabur karena masih ada “puluhan match” lain.
  3. Ekspektasi Tinggi: Konten film dan drama romantis mengajarkan kita tentang cinta yang instan dan sempurna, padahal realitanya hubungan butuh proses.

Bukan berarti cinta kilat selalu berujung buruk, tapi risikonya lebih tinggi. Ketika seseorang menampilkan sikap “sangat sempurna,” kita patut curiga: apakah itu cinta tulus, atau sekadar “fase euforia” yang mudah padam?

Dari sisi pria, banyak yang takut menghadapi konflik. Sebagian berpikir, “Lebih baik pergi diam-diam ketimbang menghadapi tangisan atau debat panjang.” Inilah cikal-bakal ghosting. Mereka mungkin sudah lama merasa ragu, tetapi masih berpura-pura romantis karena belum siap menanggung reaksi pasangannya.

Salah satu bukti sosialnya tampak pada ledakan konten “ghosting” di TikTok, di mana creator menirukan perilaku pria yang super manis sehari sebelum menghilang. Netizen perempuan pun membanjiri kolom komentar dengan cerita mirip. Komunitas daring ini menjadi “tempat aman” untuk saling berbagi trauma dan mencari penjelasan.

 

Tanda-Tanda “Too Good to Be True”

Sebelum kita menyalahkan para pria ghoster sepenuhnya, mari kita akui bahwa banyak korban tak menyadari “red flags.” Kita sering tersanjung oleh pujian berlebihan atau janji-janji muluk, lalu mengabaikan keganjilan. Apa saja tanda seseorang mungkin sedang menyiapkan “pelarian” setelah fase mesra?

  1. Love Bombing Ekstrem
    Mereka baru kenal seminggu, tapi sudah mengajak liburan ke luar negeri, mengenalkan ke orang tua, atau bicara soal anak. Sikap ini membuat Anda terbuai, namun perlu diwaspadai. Perubahan intensitas yang begitu cepat kerap menandakan ketidakstabilan emosi.

  2. Menghindar Saat Ditanya Rencana Serius
    Walau banyak janji besar, ketika Anda menanyakan detail (kapan beli tiket, bagaimana persiapan bertemu keluarga), dia mengalihkan topik. Itu pertanda bahwa kata-katanya belum tentu serius.

  3. Reaksi Negatif pada Komitmen
    Ketika Anda membahas “mau dibawa ke mana hubungan ini,” ia tampak gelisah atau marah. Mungkin ia belum benar-benar yakin, tapi takut mengaku.

  4. Kebiasaan Berlebih di Media Sosial
    Pria yang “terlalu aktif” memamerkan kemesraan di medsos, namun di belakang layar jarang menepati janji, bisa jadi sedang menutupi rasa bersalah atau keraguan.

  5. Perbedaan Sinyal Antara Omongan dan Tindakan
    Ia bilang “aku cinta mati padamu,” tapi kadang menunda ketemuan atau jarang benar-benar ada saat dibutuhkan. Ketidakkonsistenan ini menandakan hatinya tak sejalan dengan ucapannya.

Dengan mengenali tanda-tanda ini, Anda bisa lebih waspada. Bukannya kita harus curiga terus, tapi penting memadukan logika dan perasaan saat menerima cinta instan. Jangan sampai kita jadi korban ghosting di saat sudah merencanakan masa depan.

 

Ketika TikTok Menjadi Tempat Curhat Massal

Baru-baru ini, TikTok dibanjiri video POV (Point of View) yang menampilkan “cowok-cowok” sedang menyanjung pasangannya sehari sebelum ghosting. Seorang kreator bernama Taylor Rosen memparodikan dialog pria yang bilang, “Besok kita ke Italia, ya? Aku sudah bilang ke ibuku, dia follow Instagram-mu,” lalu esok harinya lenyap.

Fenomena ini menimbulkan reaksi besar. Komentar dipenuhi kisah nyata: ada yang dibiarkan menunggu sendirian di rumah setelah dijanjikan sesi baking cookies; ada pula yang diajak menemui kuburan ayah sang pria, lalu ditinggal seminggu kemudian. Cerita-cerita tragis ini menyebar cepat karena banyak netizen merasa “oh, aku bukan satu-satunya yang mengalami.”

Mengapa TikTok begitu kuat sebagai tempat curhat?

  1. Format Video Pendek: Pengguna mudah mengekspresikan kisah pribadi dengan gaya komedi atau dramatis.
  2. Algoritma: Video viral lebih cepat tersebar ke orang-orang yang memiliki minat serupa.
  3. Solidaritas Online: Komentar-komentar saling menguatkan, menciptakan rasa kebersamaan dalam penderitaan.

Hasilnya, “ghosting” tak lagi dianggap sekadar isu personal, melainkan gejala budaya. Ketika banyak orang mengalaminya, muncul pemahaman bahwa ini bukan kesalahan korban semata, melainkan pola perilaku yang perlu dibahas lebih dalam.

 

Lucy Rowett, Sex and Relationship Coach

Untuk menggali perspektif ahli, kami mewawancarai Lucy Rowett, seorang sex and relationship coach yang kerap menulis tentang fenomena ghosting. Berikut rangkuman pernyataannya:

1. Mengapa pria (dan kadang wanita) bisa tiba-tiba menghilang setelah bersikap amat manis?

Lucy menilai banyak orang tidak terbiasa menghadapi konflik secara dewasa. Mereka takut menyakiti perasaan pasangannya, sehingga menunda kejujuran. “Alih-alih berbicara terus terang bahwa mereka ragu, mereka pura-pura normal atau bahkan ekstra manis. Saat akhirnya memutuskan pergi, mereka melakukannya diam-diam,” ujar Lucy.

2. Apakah ini semata kesalahan pria?

“Tentu tidak,” tegas Lucy. Wanita juga bisa ghosting, tapi memang lebih sering pria yang disorot karena konstruksi sosial lelaki cenderung menghindari ‘tampak lemah.’ “Banyak dari kita tak pernah diajari cara putus yang baik,” tambah Lucy.

3. Mengapa sikap manis justru muncul sebelum ghosting?

“Mungkin mereka berusaha meyakinkan diri bahwa hubungan masih bisa diselamatkan. Atau tak ingin jadi ‘bad guy.’ Mereka pikir, ‘Kalau aku bersikap manis, dia takkan marah saat kutinggalkan.’ Padahal hasilnya justru bikin lebih sakit.”

4. Solusi?

Lucy mendorong edukasi komunikasi sejak dini. “Kita perlu belajar bahwa menolak atau mengakhiri hubungan bukan kejahatan. Lebih baik jujur dan berempati ketimbang ghosting. Pastikan pasangan tahu apa yang terjadi, meski itu menyakitkan, agar tak meninggalkan trauma mendalam.”

Menurut Lucy, ghosting merefleksikan ketidakdewasaan emosional. Selama masyarakat tak menormalkan diskusi terbuka tentang perasaan, fenomena ini akan terus berlanjut.

 

“Kita Masak Bareng Besok?” Lalu Hilang

Cerita “lovey-dovey” sebelum ghosting bukan hanya isapan jempol. Banyak korban berbagi pengalaman mirip:

  1. Kasus “Kita Bikin Kue”
    Seorang pengguna X (dahulu Twitter) menulis bahwa pacarnya mengajaknya baking cookies bersama di akhir pekan. Ia antusias, membeli semua bahan. Ternyata, sang pacar lenyap tanpa kabar setelah merokok di luar rumah. “Dia tak pernah kembali, dan bahan kue itu dibiarkan menumpuk di dapur,” kisahnya sedih.

  2. Janji Ketemu Keluarga
    Ada pula yang diajak makan malam keluarga oleh si pacar, lalu didaftarkan ke grup WhatsApp keluarga. “Bahkan sang pacar bilang, ‘Ortuku pasti suka padamu.’ Tiga hari kemudian, ia memblokir saya di semua platform,” ujar seorang netizen. Reaksi pun campur aduk: malu, sedih, dan bingung.

  3. Minta Tambah Anak
    Kasus ekstrem dialami seorang wanita di forum daring, di mana suaminya—yang sudah 10 tahun menikah—mencetak foto pernikahan mereka untuk ditempel di dinding galeri rumah. Lima hari sebelum perayaan ulang tahun pernikahan, suaminya mengajukan cerai. Kejadian ini mirip dengan cerita Kieran Culkin, hanya bedanya Culkin masih bergurau di panggung Oscar, sementara si suami benar-benar “membohongi” istri di kehidupan nyata.

Kisah-kisah ini menegaskan bahwa ghosting bukan cuma terjadi di awal hubungan. Meski jarang, hubungan lama pun bisa berakhir mendadak karena seseorang menumpuk keraguan tanpa pernah membicarakannya.

 

Faktor Sosial dan Psikologis di Balik Ghosting

  1. Takut Dicap Jahat
    Banyak orang (khususnya pria) tidak mau dianggap “penjahat” yang menyakiti hati pasangan. Mereka menunda perpisahan hingga di titik meledak, lalu kabur mendadak agar tak perlu menanggung drama. Padahal, cara ini justru lebih menyakitkan.

  2. Budaya ‘Move On Cepat’
    Di era aplikasi kencan, pindah ke pasangan baru dianggap lumrah. Seorang ghoster tahu ia bisa “menghilang” tanpa konsekuensi besar karena korban akan “jadi dewasa” dan move on. Minimnya konfrontasi membuat ghoster mengulang perilaku ini.

  3. Ketidaktahuan Komunikasi
    Menurut Lucy Rowett, banyak dari kita tak dibekali skill “memutuskan hubungan dengan benar.” Hasilnya, ghosting jadi jalan pintas. Daripada berbicara jujur tentang keraguan, mereka memilih bungkam.

  4. Tekanan Sosial
    Sebagian pria masih terjebak stereotip maskulinitas—bahwa mereka harus selalu kuat, tak boleh terlihat ragu. Akibatnya, mereka memalsukan semangat “aku sayang kamu” padahal hatinya goyah.

  5. Pengalaman Masa Lalu
    Orang yang pernah disakiti atau melihat teman disakiti, mungkin takut balasannya lebih buruk. Alih-alih jujur, mereka meniru perilaku ghosting yang pernah mereka alami.

 

Peran Media Sosial dalam Pola Ghosting

Media sosial tak hanya memudahkan orang berkenalan, tapi juga membuat kabur lebih gampang.

  • Blokir dan Hapus Kontak: Dengan sekali klik, seseorang bisa memutus semua akses. Korban pun tak bisa menuntut penjelasan.
  • Ekspektasi Publik: Hubungan yang terlalu diumbar di media sosial bisa memaksa pelaku ghosting untuk pura-pura bahagia sampai detik terakhir, lalu kabur.
  • Normalisasi ‘Pergi Tanpa Kata’: Banyak cerita ghosting di medsos dianggap lucu atau sepele, padahal korbannya menanggung trauma.

TikTok dan platform lainnya membuat fenomena ghosting lebih terlihat. Orang jadi sadar bahwa “ini bukan cuma aku, banyak yang kena.” Hal ini bisa memberi dukungan emosional, tapi juga menegaskan betapa masifnya perilaku tersebut.

 

Cara Menghadapi dan Menghindari Kena Ghosting

  1. Kenali Tanda Awal
    Jika seseorang terlalu cepat membicarakan masa depan atau intens “love bombing,” berhati-hatilah. Bukan berarti pasti ghoster, tapi tetap siapkan kewaspadaan.

  2. Perkuat Komunikasi
    Upayakan dialog terbuka sejak dini. Tanyakan secara lembut tentang visi hubungan, bagaimana dia menyikapi konflik, dan apakah dia tipikal orang yang “kabur” jika masalah muncul.

  3. Jangan Tergesa Menyerahkan Diri Sepenuhnya
    Walau hubungan terasa “instan click,” sisakan ruang untuk mengenal latar belakangnya. Pastikan Anda tak terburu-buru memercayakan seluruh rencana hidup pada seseorang yang belum lama dikenal.

  4. Perjelas Batasan dan Harapan
    Jika Anda serius, ungkapkan dengan tegas. Minta dia jujur tentang perasaannya. Kalau dia tak mampu memberi kepastian, mungkin perlu mempertimbangkan sikap lebih hati-hati.

  5. Jika Terlanjur Dighosting

    • Jangan Menyalahkan Diri: Ghosting bukan cerminan kualitas Anda, melainkan ketidakdewasaan pelaku.
    • Tutup Celah Akses: Daripada menanti penjelasan yang tak kunjung datang, fokus bangkit.
    • Cari Dukungan: Curhat ke teman, keluarga, atau komunitas daring bisa mempercepat pemulihan emosional.
  6. Bagi Pelaku
    Bila Anda ragu, bicarakanlah. Bersikap jujur meski tak nyaman akan jauh lebih menghormati pasangan daripada pergi tanpa kabar.

 

Ghosting, terutama versi “sangat manis sebelum mendadak hilang,” bukan sekadar tren lucu di TikTok. Ia menyoroti ketidakmampuan kita berkomunikasi jujur saat rasa tak lagi sama. Pria yang semula “sangat mencintaimu,” lalu menghilang, mungkin telah lama menimbang, tapi takut menghadapi reaksi. Atau, mereka sedang menutupi keraguan dengan perilaku “extra sweet” demi menghindari konflik.

Melalui kisah nyata di media sosial, kita melihat betapa menyakitkannya efek ghosting. Korban tidak hanya ditinggalkan, tetapi juga merasa dipermainkan. Padahal, cinta yang sehat menuntut kejujuran—jika memang tak cocok, lebih baik putus baik-baik daripada menyisakan trauma.Ingat bahwa ghosting bukan cerminan kekurangan Anda. Terkadang, ini hanya cara orang melarikan diri dari tanggung jawab emosional. Tetaplah berkomunikasi terbuka, bersikap realistis, dan bangun batasan sehat. Jika Anda pernah mengalaminya, yakinlah bahwa banyak orang senasib, dan Anda tak perlu menyalahkan diri. Justru, jadikan pengalaman ini pelajaran untuk membangun relasi lebih baik di masa depan. Sebab cinta, pada akhirnya, menuntut kejujuran, bukan ilusi sesaat yang hancur tanpa pamit.***


Ingin lebih banyak wawasan tentang hubungan, tren media sosial, dan tips menghadapi permasalahan cinta modern? Kunjungi Metavora sekarang. Kami menyediakan artikel-artikel mendalam, panduan praktis, serta ulasan ahli yang bisa membantu Anda menavigasi kehidupan percintaan di era digital. Jangan biarkan ghosting menghantui Anda—jadilah pembaca Metavora yang cerdas dan siap menghadapi dunia percintaan dengan lebih matang.

Yuanita Rahman

Alice to find any. And yet you incessantly stand on their slates, 'SHE doesn't believe there's an.