Ada sebuah keyakinan yang beredar: “Wanita tidak akan pernah benar-benar pergi tanpa ada pria lain.” Dalam perspektif ini, jika seorang wanita meninggalkanmu, konon sudah ada sosok pengganti yang menunggu di balik layar. Bagi sebagian orang, ini terdengar sinis dan menyakitkan. Namun, benarkah demikian?
Menurut Dr. Andi Kusuma, seorang psikolog hubungan dari Universitas Indonesia, “Memang ada pola di mana seseorang (bukan cuma wanita) tidak akan meninggalkan hubungan sebelum merasa aman dengan opsi lain. Ini soal ‘ketakutan kesepian’ dan mekanisme perlindungan diri.” Kendati demikian, Dr. Andi juga menegaskan bahwa “tidak semua kasus berlaku sama.” Artikel ini akan membahas sisi lain dari keyakinan tersebut—sebuah “hard truth” tentang hubungan yang kerap dipinggirkan, namun diakui banyak pria saat mereka ditinggalkan.
1. “Dia Tidak Pernah Pergi Tanpa Ada Pria Lain”: Benarkah?
Konteks & Asal Mitos
Ada asumsi umum: “Jika wanita pergi, sudah pasti ada pria lain.” Dalam beberapa hubungan, ini tampak akurat. Sebuah survei informal di forum daring Relationship Talk (2024) menunjukkan 60% responden pria mengaku mantan mereka sudah punya pengganti dalam hitungan minggu—atau bahkan hari—setelah putus. Namun, kita perlu hati-hati menyamaratakan hal ini sebagai kebenaran mutlak.
Zaki (30 tahun), karyawan swasta di Jakarta, bercerita bahwa mantan kekasihnya tiba-tiba memutuskan hubungan dengan alasan “ingin fokus karier.” Ternyata, tiga minggu kemudian, Zaki mengetahui sang mantan menjalin kedekatan dengan rekan sekantornya. “Saya terkejut, karena dia bilang ‘ingin sendiri’, tapi ternyata tidak,” ujarnya.
Di sisi lain, Nadia (28 tahun), seorang penulis, menegaskan tidak selalu demikian. “Saya pernah putus karena benar-benar ingin sendiri, bukan karena ada pria lain. Memang, beberapa bulan setelahnya saya dekat dengan orang baru, tapi bukan berarti saya ‘menyiapkannya’ sebelum putus,” kata Nadia. Ini menandakan realitas lebih kompleks ketimbang klaim mutlak.
Jarak Emosional: Tanda Ia Sudah ‘Keluar’ Sebelum Fisiknya Pergi
Mengapa Wanita (atau Siapa Pun) Menarik Diri?
Sering kita dengar, “Ketika seorang wanita berhenti berdebat, berhenti menuntut, berhenti peduli, artinya ia sudah keluar secara mental.” Menurut Dr. Mia Lestari, terapis pasangan di Bina Keluarga Institute, “Jarak emosional muncul ketika seseorang merasa hubungan tak lagi memuaskan, tapi masih ragu mengakhirinya. Proses ini bisa berlangsung berbulan-bulan.” Pada tahap ini, sang wanita mulai menimbang opsi lain—entah itu kebebasan pribadi atau pria baru.
Dr. Mia menambahkan, “Jika seorang wanita tak lagi peduli argumen atau kompromi, kemungkinan ia sudah lelah. Bisa jadi, di saat bersamaan, ia mulai membuka diri ke opsi baru.” Dari sisi pria, ini tampak mendadak, padahal wanita sudah lama merencanakan kepergiannya.
Eksplorasi Opsi: “Mereka Menemukan, Baru Menyelesaikan”
Logika ‘Mengamankan Dulu’
Artikel ini menyebut, “Laki-laki percaya wanita mengakhiri dulu, lalu cari yang baru. Kenyataannya sebaliknya: mereka menemukan lebih dulu, lalu menyelesaikan.” Kalimat ini seolah menuduh bahwa wanita menyiapkan “pintu cadangan” sebelum benar-benar menutup hubungan lama. Apakah itu fakta atau stereotip?
Sebuah studi Journal of Social and Personal Relationships (2023) mengungkap bahwa sebagian individu (tak hanya wanita) cenderung membangun “emotional backup” sebelum meninggalkan hubungan resmi. Motivasinya bervariasi, dari rasa takut kesepian hingga trauma kegagalan sebelumnya. Dr. Andi Kusuma menegaskan, “Ini bukan soal jahat atau licik, tapi seringkali soal proteksi diri. Namun, memang hal ini bisa terasa menipu bagi pasangan yang ditinggalkan.”
Mengapa Wanita (atau Pasangan) Mengamankan “Plan B”?
Kebutuhan Rasa Aman
“Wanita (atau siapa pun) tidak bermain kasar, mereka bermain catur,” kata artikel ini. Artinya, mereka menyiapkan langkah-langkah strategis. Maslow’s Hierarchy of Needs menjelaskan bahwa rasa aman (security) termasuk kebutuhan dasar manusia. Dalam konteks hubungan, seseorang cenderung enggan memasuki fase ‘kosong total’ karena ketidakpastian masa depan. Bagi sebagian wanita, punya “cadangan” berarti menghindari jeda panjang yang menimbulkan kecemasan.
Rina (27 tahun), seorang freelancer, mengaku pernah menyiapkan diri sebelum putus dari pacar lamanya. “Sebenarnya aku udah kenal cowok lain di kantor, sering curhat, dan lama-lama dekat. Waktu hubungan lama makin memburuk, aku sadar ada opsi lain yang mungkin lebih baik,” ujarnya. Meskipun terkesan “tak adil,” Rina menilai ini bentuk self-preservation. “Aku tak mau terjebak hubungan toksik tanpa kepastian.”
Peran Komunikasi Buruk: “Pria Terlambat Sadar”
Sudut Pandang Pria
Pria kerap berpikir “semua baik-baik saja” karena wanita sudah berhenti berdebat. Padahal, itu tanda wanita berhenti peduli. Ketika pria akhirnya menyadari ada masalah, seringkali sudah terlambat. Menurut Relationship Studies Quarterly(2024), komunikasi buruk menjadi pemicu utama kesalahpahaman. Wanita mungkin sudah memberi sinyal halus, tapi pria menafsirkannya sebagai “fase biasa.”
Erik Tan, konselor hubungan di Singapura, menegaskan, “Banyak pria mengira keheningan wanita berarti masalah selesai. Padahal, wanita sudah bosan membahasnya. Saat mereka diam, itu tahap di mana mereka menyiapkan ‘exit strategy.’”
“Butuh Waktu” Adalah Kode Bahwa Dia Sudah Berpaling?
Kalimat yang Menjebak
Artikel ini menyebut, “Jika dia bilang ‘butuh waktu,’ kemungkinan ia sudah menanam waktu di tempat lain.” Terdengar kejam, namun kerap terbukti di beberapa kasus. “Butuh waktu” sering menjadi alasan normatif untuk menghindari konflik langsung, sekaligus menunda reaksi keras dari pasangan.
Dani (31 tahun), seorang pekerja IT, bercerita mantan pacarnya mengatakan “butuh waktu berpikir.” Ternyata, dalam seminggu, sang mantan sudah “jalan bareng” rekan kerja. “Saya merasa dibohongi, tapi dia bilang kami belum resmi putus saat itu,” kenang Dani. Hal ini menimbulkan dilema moral: Apakah itu perselingkuhan atau persiapan kepergian?
Jika Dia Berhenti Menghubungi, Jangan Naif
Hilangnya Komunikasi
Seiring wanita menjauh, pria kerap berharap “dia akan kembali” atau “mungkin dia butuh ruang sejenak.” Artikel menekankan, “jika kamu masih percaya dia pergi karena ‘ingin sendirian’, selamat kamu masih percaya dongeng.” Pernyataan ini memicu kontroversi karena tak semua orang berbohong. Namun, banyak kesaksian pria yang ditinggal tanpa penjelasan, lalu melihat mantan sudah bahagia dengan orang lain.
Robby (29 tahun) menuturkan, “Pacar saya tiba-tiba ghosting. Saya pikir dia depresi dan butuh waktu sendiri. Ternyata sebulan kemudian, saya lihat Instagram-nya sudah liburan dengan cowok lain.” Robby merasa bodoh karena terus menunggu penjelasan, padahal tanda-tandanya jelas.
Dampak Psikologis pada Pria
Mengapa Ini Menyakitkan?
Ketika pria mengetahui bahwa “mantan tak benar-benar sendirian,” rasa dikhianati dan marah pun muncul. Journal of Men’s Psychology (2022) menyoroti efek emosional pria yang ditinggalkan secara tiba-tiba: kehilangan percaya diri, trauma, hingga takut menjalin hubungan baru. “Mereka merasa ‘tidak cukup baik,’ karena wanita seakan lebih cepat move on,” ujar Dr. Andi Kusuma.
Menurut Dr. Kusuma, “Penting bagi pria untuk memahami ini bukan sekadar kesalahan pribadi. Terkadang, wanita sudah lama memendam ketidakpuasan. Proses ‘pindah hati’ mungkin sudah berjalan diam-diam. Pria perlu mengambil hikmah, memperbaiki komunikasi, dan belajar dari kegagalan.”
Apakah Selalu Demikian? Pandangan Lebih Seimbang
Tidak Semua Wanita Begitu
Banyak wanita yang memilih benar-benar sendiri setelah putus, karena trauma atau ingin fokus karier. The Relationship Journal (2023) menegaskan 40% wanita mengaku butuh jeda sebelum mencari pasangan baru, terutama jika hubungan lama melelahkan secara emosional. Nadia (28 tahun), yang kami wawancarai, menegaskan, “Tak adil menuding semua wanita punya cadangan. Banyak di antara kami benar-benar butuh ruang untuk menyembuhkan diri.”
Peran Konteks Hubungan
Dalam beberapa hubungan, pria-lah yang berselingkuh duluan, dan wanita memutuskan pergi setelah disakiti. Tidak selalu wanita “merencanakan” pria pengganti. “Kita harus menilai konteks spesifik tiap hubungan,” ungkap Dr. Mia Lestari. Pernyataan artikel bahwa “semua wanita menyiapkan pria lain” mungkin terlalu general.
Tips untuk Pria: Bagaimana Mencegah “Tersungkur” Secara Emosional?
- Peka Terhadap Sinyal: Jika dia mulai menjaga jarak, berhenti berdebat, berhenti peduli—ajak bicara serius. Jangan menunggu hingga terlambat.
- Perbaiki Komunikasi: Tanyakan apa yang dia rasakan, bukan sekadar “semuanya baik-baik saja, kan?” Terkadang wanita butuh didengar, bukan ditebak.
- Bangun Diri: Jangan hanya mengandalkan pasangan untuk kebahagiaan. Miliki jaringan pertemanan, passion, dan kemandirian emosional.
- Hormati Keputusan: Jika dia benar-benar mau pergi, memaksa tak akan membantu. Fokus menyembuhkan diri dan evaluasi apa yang salah.
- Buka Peluang Baru: Bukan berarti langsung mencari pengganti, tapi jangan pula menutup diri. Belajar dari kesalahan untuk hubungan lebih sehat di masa depan.
Hard Truth vs. Realitas Kompleks
Artikel ini memaparkan “hard truth” bahwa wanita tak pernah benar-benar sendiri saat pergi. Namun, kita harus menempatkan ini dalam konteks. Menurut Dr. Andi Kusuma, “Bisa saja itu terjadi pada banyak kasus, tetapi bukan hukum mutlak.” Dalam ilmu psikologi, perilaku “mencari aman” sebelum memutuskan hubungan lazim di kedua gender. Namun, wanita kerap dikaitkan dengan strategi “diam-diam menyiapkan exit plan” karena stereotip budaya.
Mengapa Stereotip Ini Bertahan?
- Pengalaman Kolektif Pria: Banyak pria membagikan kisah “ditinggal lalu mantan langsung pacaran.”
- Kurangnya Komunikasi: Wanita cenderung menutupi proses batin saat ingin putus, sehingga tampak tiba-tiba.
- Budaya Patriarki: Menempatkan wanita sebagai pihak yang “licik” atau “licin” dalam relasi, padahal kenyataan sering lebih rumit.
Penutup: Belajar dari Kisah Pahit
Terlepas dari benar-tidaknya klaim “wanita tidak pernah pergi tanpa pria lain,” ada pelajaran penting bagi pria (dan siapa pun) dalam hubungan. Kehati-hatian dan komunikasi adalah kunci. Jangan naif berasumsi semuanya baik-baik saja ketika pasangan mulai menarik diri. Perhatikan tanda-tanda jarak emosional, jalin komunikasi terbuka, dan jangan takut mendiskusikan masalah. Jika hubungan berakhir, pahami bahwa kesedihan adalah proses normal. Fokus bangkit, introspeksi, dan hindari generalisasi negatif bahwa “semua wanita pasti punya pengganti.”
Seorang konselor bernama Evelyn Tan menegaskan, “Kesadaran diri, tanggung jawab emosional, dan kemauan berkomunikasi secara jujur dapat mencegah kejadian putus mendadak.” Ia menambahkan, “Kadang, kesimpulan ‘dia sudah punya pria lain’ hanya refleksi kekecewaan pria. Namun, bisa juga benar. Solusinya? Pastikan hubungan Anda tak dibiarkan menggantung, bicara dari hati ke hati sejak dini.”***
Jika Anda ingin mendalami lebih banyak tentang dinamika hubungan, cara mengatasi trauma pasca-putus, atau tips menjaga komunikasi sehat, kunjungi artikel-artikel Metavora lainnya. Kami menyajikan wawancara dengan pakar hubungan, cerita inspiratif, serta solusi praktis untuk menavigasi dunia asmara yang kian rumit. Jangan biarkan perpisahan mendadak membuat Anda terpuruk—pahami lebih jauh di Metavora!