Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, mendadak ramai dibicarakan setelah Polres setempat meluncurkan program “Tilang Syariah.” Program ini mencuat di media sosial, menimbulkan rasa penasaran di kalangan warganet: bagaimana caranya pelanggar lalu lintas bisa “dibebaskan” dari tilang hanya dengan membaca Al-Qur’an?
Sebelum menilai apakah ini kebijakan tepat atau tidak, kita perlu memahami konteks masyarakat Lombok. Wilayah ini memiliki corak religius yang kental, terutama saat bulan Ramadan. Banyak tradisi lokal yang menekankan sisi spiritual, seperti kegiatan mengaji bersama, tarawih di masjid, hingga perayaan khas “Lebaran Topat” usai Idulfitri. Polisi lalu lintas di Lombok Tengah memanfaatkan momen Ramadan untuk menghadirkan pendekatan berbeda dalam penegakan hukum.
Menurut data dari Korlantas Polri tahun lalu, angka pelanggaran lalu lintas di Lombok termasuk tinggi dibandingkan beberapa kabupaten sekitarnya. Dominasi pelanggaran meliputi tidak memakai helm, tidak membawa SIM, dan melawan arus. Saat Ramadan, intensitas mobilitas masyarakat justru meningkat—banyak orang keluar rumah menjelang waktu berbuka, atau pulang larut malam setelah tadarus. Polres Lombok Tengah pun memutar otak agar penindakan pelanggar lebih efektif namun tetap menanamkan pesan moral.
Ketika Ramadan tiba, biasanya masyarakat Lombok kian giat menjalankan ritual keagamaan, seperti tadarus malam di masjid, kuliah subuh, dan zikir bersama. Dalam suasana religius inilah, para tokoh berpikir: “Bagaimana jika penindakan pelanggaran lalu lintas dikaitkan dengan pendekatan ibadah?” Mereka ingin memanfaatkan momentum Ramadan agar masyarakat lebih termotivasi menjaga keselamatan di jalan sekaligus meningkatkan kedekatan dengan Al-Qur’an.
“Tilang Syariah” lahir dari semangat itu. Program ini menekankan pentingnya pendekatan humanis dan religius, bukan sekadar menilang. Melalui kebijakan tersebut, pelanggar yang bisa membaca Al-Qur’an dengan benar akan dibebaskan dari denda, diganti dengan pembinaan rohani. Tujuannya jelas: menumbuhkan kesadaran, bukan menakut-nakuti.
Namun, kebijakan ini tidak otomatis menggantikan aturan formal. Pelanggaran berat seperti balap liar, kecelakaan fatal, atau kasus pidana tetap ditangani sesuai hukum positif. “Tilang Syariah” lebih ditujukan untuk pelanggaran ringan di jalan raya. Agar kita bisa menilai kebijakan ini secara adil, mari kita telusuri sejarah dan inspirasi penerapannya, mekanisme pelaksanaan, serta dampak sosial yang muncul di masyarakat Lombok Tengah.
Nama “Tilang Syariah” sendiri terinspirasi dari istilah “hukum syariah,” tapi sebenarnya bukan berarti menghilangkan hukum positif. Secara prinsip, Polri masih menggunakan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun, dalam konteks Ramadan, Polres memberi opsi pembinaan rohani bagi pelanggar yang memenuhi kriteria. Kasat Lantas Polres Lombok Tengah, AKP Puteh Rinaldi, menjelaskan bahwa pelanggar yang mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar tidak akan ditilang, melainkan hanya diberi imbauan. Sebaliknya, mereka yang tidak bisa membaca Al-Qur’an sesuai ketentuan akan diproses menggunakan aturan lalu lintas yang berlaku. Puteh menegaskan bahwa langkah ini diambil untuk meningkatkan minat membaca Al-Qur’an di kalangan masyarakat dan memberi sentuhan edukatif yang selaras dengan suasana Ramadan. Namun, Puteh melanjutkan bahwa “Tilang Syariah” sifatnya opsional. Bagi non-Muslim atau mereka yang tidak bisa mengaji, sanksi tetap mengikuti prosedur tilang umum. Di luar Ramadan, pendekatan ini bisa saja dihentikan atau dievaluasi, tergantung hasil yang dicapai.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Dede Indra Permana Soediro menyoroti kebijakan tilang syariah yang diterapkan oleh Polres Kabupaten Lombok Tengah. Meski kebijakan ini bertujuan baik, namun perlu dikaji lebih lanjut agar selaras dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Polri, khususnya di bidang lalu lintas (lalin), juga pemberlakuan bagi Warga Negara Indonesia yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Dede mengingatkan, Indonesia memiliki keberagaman agama, sehingga kebijakan yang dibuat seharusnya berlaku untuk semua golongan dan tidak mengelompokkan berdasarkan agama.Untuk itu, dirinya mengajak masyarakat untuk berkendara dengan baik, menaati rambu-rambu lalin, dan mematuhi aturan sesuai UU. Dia juga mengimbau Polri dan Polantas untuk menegakkan serta menerapkan aturan berkendara sesuai ketentuan hukum yang berlaku. "Mari berkendara dengan baik, taati rambu, dan kepada Kepolisian Republik Indonesia serta jajaran Polantas, mari kita tegakkan serta terapkan aturan berkendara sesuai dengan undang-undang," pungkas Dede.
Pada akhirnya, “Tilang Syariah” di Lombok Tengah mencerminkan inovasi pendekatan hukum yang lebih lembut dan sarat pesan spiritual. Walau menimbulkan pro dan kontra, kebijakan ini menunjukkan upaya kepolisian untuk menyesuaikan penegakan aturan dengan suasana Ramadan. Semoga kehadiran program ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam berlalu lintas, sekaligus menumbuhkan kecintaan pada Al-Qur’an dan nilai-nilai keagamaan.***
Ingin mengetahui lebih banyak inovasi dan kisah inspiratif seputar hukum, budaya, dan Ramadan di berbagai daerah? Kunjungi Metavora untuk membaca artikel-artikel kami yang menyajikan perspektif unik, panduan bermanfaat, dan cerita lapangan menarik lainnya. Temukan inspirasi baru untuk memahami ragam budaya di Indonesia dan bagaimana agama memengaruhi tatanan sosial.