Malam ini Ramadan Taqobbalallahu Minna Waminkum
  • 10 Mar 2025

Deja vu adalah fenomena yang sering terjadi tetapi tetap membingungkan banyak orang. Meskipun banyak teori yang mencoba menjelaskan penyebabnya, sejauh ini, tidak ada satu penjelasan yang pasti. Yang jelas, deja vu adalah pengalaman yang bisa kita alami kapan saja, tanpa bisa kita prediksi.

Deja vu, yang sering kali disebut sebagai pengalaman aneh di mana seseorang merasa telah mengalami suatu peristiwa sebelumnya meskipun itu adalah pertama kalinya terjadi, adalah salah satu fenomena yang banyak membingungkan para ilmuwan dan psikolog. Fenomena ini telah menjadi objek kajian dalam ilmu psikologi dan neurologi selama beberapa dekade, namun tetap menyimpan banyak misteri. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam otak kita ketika kita mengalami deja vu? Apakah fenomena ini hanya gangguan kecil dalam proses pengolahan informasi otak atau ada penjelasan lain yang lebih mendalam?

Apa sebenarnya Deja Vu

Deja vu dapat diartikan sebagai pengalaman psikologis di mana seseorang merasa bahwa mereka telah mengalami peristiwa yang sedang berlangsung, meskipun itu adalah peristiwa baru bagi mereka. Fenomena ini pertama kali dijelaskan oleh para ahli psikologi pada awal abad ke-20, namun hingga kini, masih banyak yang belum dipahami mengenai penyebab dan mekanismenya. Beberapa ahli berpendapat bahwa deja vu dapat terjadi akibat adanya gangguan sementara dalam cara otak memproses memori.

Fenomena deja vu bisa dibilang seperti kebingungan dalam proses otak saat memori atau pengalaman baru sedang diproses. Sebagian besar ahli sepakat bahwa deja vu adalah hasil dari suatu "gangguan" sementara dalam cara kita mengolah informasi. Secara teknis, deja vu bisa terjadi saat otak kita mengalami kesalahan dalam membedakan pengalaman saat ini dengan pengalaman masa lalu. Dengan kata lain, ketika kita mengalami sesuatu yang baru, otak kita "merasa" seolah-olah itu adalah memori lama.

Penjelasan ini sangat terkait dengan cara otak kita memproses informasi dan memori. Otak kita memiliki dua jenis memori: memori jangka pendek dan memori jangka panjang. Saat kita mengalami sesuatu yang baru, otak akan menandai itu sebagai memori jangka pendek terlebih dahulu. Namun, jika ada gangguan dalam sistem pengolahan memori, informasi tersebut bisa langsung diproses sebagai memori jangka panjang, yang mengarah pada perasaan deja vu.

Menurut Dr. Akira M. Fujii, seorang ahli psikologi dari Kyoto University, fenomena deja vu dapat terjadi ketika otak kita mengalami kesalahan dalam memproses memori jangka pendek dan panjang. "Deja vu sering kali terjadi ketika otak kita mencoba untuk memproses informasi baru dan mengaitkannya dengan memori yang sudah ada. Namun, terkadang, otak kita mengalami kesalahan dalam menggabungkan ingatan baru dengan ingatan lama, yang menyebabkan kita merasa bahwa kita sudah pernah mengalami kejadian tersebut sebelumnya," ujar Dr. Fujii.

Beberapa orang percaya bahwa deja vu adalah tanda dari kehidupan sebelumnya atau pengalaman masa lalu yang terpendam. Namun, banyak penelitian menunjukkan bahwa deja vu lebih cenderung berhubungan dengan cara otak kita berfungsi dan tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim tersebut. Namun menurut Dr. Julia K. Moore, seorang profesor psikologi kognitif di Harvard University, menjelaskan bahwa otak manusia memiliki dua sistem memori utama: memori jangka pendek dan memori jangka panjang. Ketika seseorang mengalami pengalaman baru, informasi tersebut biasanya disimpan dalam memori jangka pendek. Namun, karena beberapa faktor, termasuk kelelahan atau stres, informasi ini dapat langsung diproses sebagai memori jangka panjang, menciptakan perasaan bahwa pengalaman itu sudah pernah dialami. "Penting untuk diingat bahwa deja vu adalah fenomena yang sangat umum dan dapat terjadi pada siapa saja. Hal ini tidak selalu berhubungan dengan gangguan serius, tetapi lebih merupakan bagian dari cara otak kita bekerja dalam menyimpan informasi," kata Dr. Moore.

Kapan Deja Vu Paling Sering Terjadi?

Meskipun deja vu bisa terjadi kapan saja, beberapa studi menunjukkan bahwa fenomena ini lebih sering terjadi pada orang yang berusia muda, khususnya mereka yang berusia antara 15 hingga 25 tahun. Deja vu juga lebih sering terjadi saat kita berada dalam situasi yang tidak kita kenal atau saat kita sedang berada di tempat baru. Selain itu, deja vu lebih sering muncul pada individu yang memiliki kecenderungan untuk lebih sering merenung atau mengingat detail kecil dalam kehidupan mereka. Fenomena ini juga cenderung muncul ketika kita berada dalam kondisi emosional tertentu, seperti kecemasan atau kebingungan. Meskipun deja vu bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, ada beberapa faktor yang dapat memicu atau memperburuk pengalaman ini. Beberapa di antaranya Kelelahan dan Stres, ketika kita merasa lelah atau stres, kemampuan otak kita untuk memproses informasi menjadi lebih lambat. Hal ini bisa membuat otak kita lebih mudah “tertipu” untuk merasa bahwa suatu kejadian telah terjadi sebelumnya. Berikutnya adalah Konsentrasi yang Hilang dimana Deja vu seringkali muncul saat kita sedang tidak sepenuhnya fokus. Ketika perhatian kita terpecah, otak mungkin salah dalam memproses informasi dan menciptakan perasaan bahwa kejadian tersebut sudah pernah terjadi. Selanjutnya adalah Gangguan Neurologis yang beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dengan gangguan neurologis tertentu, seperti epilepsi, lebih sering mengalami deja vu. Hal ini bisa terjadi karena gangguan pada otak bagian temporal yang berfungsi untuk memori dan persepsi.

Beberapa penelitian terkini memberikan wawasan yang lebih dalam tentang mekanisme neurologis di balik deja vu. Penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan dari Université Paris Descartes pada tahun 2014 menggunakan teknologi fMRI (Functional Magnetic Resonance Imaging) untuk memindai otak relawan yang mengalami deja vu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa deja vu terjadi ketika ada gangguan sementara dalam cara otak memproses informasi di bagian-bagian tertentu, seperti hippocampus, yang bertanggung jawab dalam penyimpanan memori, dan korteks prefrontal yang mengatur pemrosesan informasi kognitif.

Pada penelitian ini, Dr. Frédéric Michel, salah satu peneliti utama, mengungkapkan bahwa hasil fMRI menunjukkan bahwa ketika seseorang mengalami deja vu, aktivitas otak menunjukkan pola yang sangat mirip dengan pola aktivitas yang terjadi saat seseorang mengingat kenangan lama. "Penelitian ini memberikan bukti bahwa deja vu dapat dihasilkan dari cara otak kita menggabungkan pengalaman baru dengan ingatan yang sudah ada, meskipun itu bukan memori yang benar-benar terasosiasi dengan kejadian tersebut," ujar Dr. Michel.

Selain itu, penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Neuroscience (2018) oleh para peneliti dari University of California, Berkeley, menggunakan teknologi EEG (Electroencephalogram) untuk mempelajari pola gelombang otak pada individu yang mengalami deja vu. Hasil studi ini menunjukkan bahwa gangguan dalam pengolahan informasi yang masuk ke dalam otak dapat menyebabkan kebingungan antara memori yang baru dan yang lama. Hal ini menjelaskan mengapa kita bisa merasa bahwa pengalaman baru adalah kenangan lama.

Di berbagai budaya, deja vu sering dianggap sebagai tanda atau petunjuk. Beberapa orang meyakini bahwa deja vu bisa menjadi sinyal dari kehidupan sebelumnya atau semacam peringatan dari dunia spiritual. Misalnya, dalam beberapa kebudayaan Timur, deja vu dianggap sebagai semacam “pengingat” untuk memperbaiki keputusan hidup. Namun, dari sudut pandang ilmiah, deja vu lebih sering dihubungkan dengan proses fisiologis dan psikologis, bukan hal-hal mistis atau spiritual. Untuk memberikan perspektif lebih dalam mengenai fenomena deja vu, Dr. Edward P. Foy, seorang ahli neurologi terkemuka dari Johns Hopkins University di Amerika Serikat telah mengkaji fenomena deja vu dalam konteks gangguan neurologis, seperti epilepsi, dan bagaimana hal ini dapat mempengaruhi pengalaman sehari-hari seseorang. Dr. Foy menjelaskan, "Deja vu dapat terjadi lebih sering pada individu dengan gangguan neurologis, terutama mereka yang menderita epilepsi. Dalam beberapa kasus, deja vu adalah salah satu gejala yang muncul sebelum serangan epilepsi. Hal ini disebabkan oleh gangguan aktivitas listrik di bagian temporal otak, yang berhubungan langsung dengan ingatan dan persepsi."

Dr. Foy juga menekankan bahwa meskipun deja vu bisa menjadi gejala bagi mereka yang memiliki gangguan neurologis, dalam kebanyakan kasus, fenomena ini adalah sesuatu yang normal dan tidak perlu dikhawatirkan. "Bagi sebagian besar orang yang sehat secara neurologis, deja vu adalah fenomena yang tidak berbahaya dan bisa terjadi dalam berbagai situasi, seperti ketika seseorang merasa tertekan atau sedang berada dalam keadaan emosional tertentu," lanjutnya.

Apa Saja Jenis-Jenis Deja Vu?

Ada berbagai jenis deja vu yang dapat kita alami, tergantung pada situasi dan pengalaman yang kita hadapi. Beberapa jenis deja vu yang paling sering terjadi antara lain:

  1. Deja Vecu
    Ini adalah jenis deja vu yang paling umum, di mana kita merasa bahwa seluruh peristiwa atau kejadian yang sedang kita alami sudah pernah terjadi sebelumnya. Contohnya, saat kita sedang berbicara dengan seseorang, kita merasa seolah-olah sudah pernah berbicara dengan orang itu di situasi yang serupa.

  2. Deja Senti
    Jenis ini berkaitan dengan perasaan atau emosi yang kita alami. Kita merasa bahwa kita pernah merasakan emosi tertentu, meskipun itu adalah perasaan baru yang muncul di momen tersebut.

  3. Deja Visite
    Pernahkah kamu merasa bahwa suatu tempat yang kamu kunjungi terasa sangat familiar, meskipun itu adalah kali pertama kamu berada di sana? Ini adalah bentuk lain dari deja vu, di mana kita merasa bahwa kita pernah mengunjungi suatu tempat sebelumnya.

  4. Deja Pensee
    Jenis ini jarang terjadi, tetapi tetap menarik. Deja Pensee terjadi ketika kita merasa sudah memikirkan suatu ide atau pemikiran sebelumnya, sebelum kita bahkan benar-benar mengungkapkannya.

Deja Vu dalam Konteks Psikologi dan Budaya

Beberapa ahli psikologi, seperti Dr. Barbara L. Hall dari University of Oxford, berpendapat bahwa deja vu mungkin juga terkait dengan kondisi psikologis dan budaya. Dr. Hall menyarankan bahwa kita mungkin lebih cenderung mengalami deja vu ketika kita berada dalam situasi yang sangat mirip dengan pengalaman masa lalu kita, baik itu dari segi tempat, orang, atau perasaan.

"Ada teori yang menyatakan bahwa deja vu bisa dipicu oleh ketegangan emosional atau perasaan tertekan. Ketika kita merasa cemas atau tertekan, otak kita mungkin mencoba untuk mengaitkan pengalaman baru dengan kenangan masa lalu yang serupa. Ini bukan hanya tentang memori yang disimpan, tetapi juga bagaimana otak kita memproses perasaan dan situasi dalam kehidupan kita," ujar Dr. Hall.

Meskipun banyak penelitian telah dilakukan untuk mengungkapkan penyebab di balik deja vu, fenomena ini tetap menarik dan kompleks. Sebagian besar peneliti sepakat bahwa deja vu terjadi akibat gangguan kecil dalam cara otak memproses informasi, namun masih ada banyak aspek yang perlu dipelajari lebih lanjut. Dengan adanya penelitian yang lebih mendalam, kita dapat semakin memahami bagaimana otak kita bekerja dan mengapa kita merasakan fenomena seperti deja vu.***

Jika kamu tertarik untuk mempelajari lebih banyak tentang fenomena menarik lainnya dan topik-topik seputar ilmu pengetahuan, teknologi, serta budaya, pastikan untuk terus mengikuti artikel-artikel menarik di Metavora.co!

Nazwa Fatimah

The Cat seemed to have got altered.' 'It is wrong from beginning to think that very few things.