Malam ini Ramadan Taqobbalallahu Minna Waminkum
  • 10 Mar 2025

Bagi sebagian orang yang memiliki masalah lambung, seperti maag atau tukak lambung, kekhawatiran untuk berpuasa mungkin muncul karena takut gejalanya justru memburuk. Meski begitu, banyak pandangan dan hasil penelitian menunjukkan bahwa puasa, jika dijalankan dengan tepat, dapat membantu menata pola makan dan menurunkan risiko keparahan sakit maag.

Sakit maag atau dispepsia adalah nyeri serta rasa tidak nyaman pada lambung akibat sejumlah kondisi. Maag bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit. Menurut seorang ahli gastroenterologi bernama dr. Andi menjelaskan bahwa puasa dapat mendorong seseorang lebih disiplin dalam mengatur asupan dan jam makan, sehingga lambung pun tidak terus-menerus terpapar makanan sembarangan. Menurutnya, perubahan pola hidup selama puasa bisa membawa dampak positif bagi penderita maag, asalkan persiapan dan penerapannya dilakukan dengan benar.

Persiapan fisik dan mental sebelum memulai puasa menjadi kunci penting. Bagi seseorang dengan riwayat maag, pendekatan paling ideal adalah berkonsultasi lebih dulu dengan dokter. dr. Andi menuturkan bahwa dokter akan menilai kondisi lambung, apakah ada tukak yang aktif atau riwayat perdarahan lambung. Bila kondisi maag masih tergolong ringan atau sedang, puasa bisa tetap dijalankan dengan pengawasan. Ia menegaskan pentingnya menyesuaikan dosis obat lambung, misalnya antasida atau penghambat asam lambung (PPI), agar perlindungan lambung tetap optimal selama jam puasa. Dalam beberapa kasus, dokter akan menyarankan jadwal khusus untuk mengonsumsi obat, misalnya sebelum sahur atau sesaat setelah berbuka, agar efek perlindungan lebih efektif. Data dari sebuah studi di jurnal gastroenterologi menunjukkan bahwa penderita maag yang menjalankan puasa dengan mematuhi panduan dokter cenderung tidak mengalami peningkatan gejala yang signifikan, dan beberapa justru melaporkan penurunan frekuensi keluhan perih.

 

Baca juga:

 

Bicara soal perubahan pola makan, puasa mengatur ulang kebiasaan seseorang dalam mengonsumsi makanan. Seorang ahli gizi bernama Dita menyoroti bahwa salah satu pemicu maag adalah pola makan tidak teratur, misalnya makan terlalu larut malam, sering mengonsumsi camilan asin atau pedas, serta melewatkan sarapan. Ketika puasa, ada rutinitas sahur dan berbuka yang terjadwal. Hal ini membuat jam makan lebih konsisten, sekaligus mengurangi kebiasaan makan berlebih di luar waktu makan. Dita menambahkan bahwa saat berbuka, penderita maag dianjurkan memulai dengan makanan ringan yang mudah dicerna, seperti kurma atau air putih hangat, sebelum beralih ke hidangan utama. Ia menyebut bahwa memulai berbuka dengan porsi kecil membantu lambung beradaptasi setelah berjam-jam kosong, sehingga asam lambung tidak “kaget” dan memicu gejala. Seorang pasien bernama Rani, yang telah menderita maag kronis selama bertahun-tahun, mengaku merasakan perbaikan kondisi lambung saat ia berpuasa, terutama ketika ia disiplin menerapkan pola berbuka secara bertahap. Rani mengungkapkan bahwa setelah seminggu, gejala perih dan mulas justru menurun karena jadwal makan jadi lebih teratur dan ia lebih selektif memilih menu.

Pemilihan menu saat sahur dan berbuka pun sangat penting. Makanan pedas, asam, dan tinggi lemak bisa merangsang produksi asam lambung berlebihan, memicu gejala maag. Dita menyarankan menu yang mengandung karbohidrat kompleks, protein sedang, dan serat cukup, misalnya nasi merah, sayuran rebus, atau sup ayam tanpa bumbu pedas. Ketika ditanya soal kebiasaan masyarakat yang sering mengonsumsi gorengan saat berbuka, Dita menegaskan bahwa kebiasaan ini kurang ideal untuk penderita maag karena minyak dan tepung dapat memperlambat pencernaan dan menambah beban lambung. Ia pun merekomendasikan alternatif seperti buah segar, sup bening, atau bubur lembut yang tidak terlalu berbumbu. Dalam penelitian kecil yang dilakukan di sebuah klinik gizi, penderita maag yang memilih makanan ringan dan hangat saat berbuka melaporkan gejala mulas lebih rendah ketimbang mereka yang langsung menyantap makanan berat atau pedas.

 

Baca juga

 

Aspek psikologis dan spiritual juga memainkan peran penting dalam meminimalkan stres yang sering memicu sakit maag. dr. Andi menjelaskan bahwa hormon stres dapat meningkatkan produksi asam lambung, sehingga manajemen stres menjadi kunci bagi penderita maag. Menurutnya, Ramadan seharusnya menjadi kesempatan untuk menata mental lebih baik, misalnya dengan memperbanyak salat, zikir, atau tadarus Al-Qur’an. Hal ini dapat membantu menjaga ketenangan pikiran, menurunkan kecemasan, dan pada gilirannya mengurangi keluhan maag. Seorang ustaz bernama Ahmad menambahkan bahwa bulan suci ini memang dirancang agar umat lebih fokus pada ibadah dan menekan hawa nafsu, termasuk rasa marah atau gelisah yang bisa memperburuk maag. Ahmad menekankan bahwa jika seseorang menghayati puasa bukan semata-mata menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menjaga akhlak dan pikiran positif, efeknya akan terasa pada stabilitas emosi dan kesehatan lambung.

Mengenai jam tidur, dr. Andi menyoroti bahwa pola tidur berubah drastis saat Ramadan. Sahur dini hari dan tidur lebih larut karena salat Tarawih dapat mengganggu ritme sirkadian, sehingga tubuh butuh adaptasi. Bagi penderita maag, kurang tidur bisa memicu stres tambahan dan melemahkan daya tahan lambung. Ia menyarankan agar orang mulai membiasakan diri tidur lebih awal atau menambah power nap siang hari, agar kondisi fisik dan psikis tetap stabil. Seorang ibu rumah tangga bernama Lina mengaku bahwa ia terbiasa tidur pukul 21.00 agar bisa bangun sahur tanpa merasa terlalu lelah. Seiring kebiasaan ini, ia merasa gejala maag menurun karena jadwal makan dan istirahatnya menjadi lebih teratur.

Bagi mereka yang tetap khawatir, ada pendekatan pengobatan yang dapat dikombinasikan dengan puasa. Misalnya, obat golongan PPI (Proton Pump Inhibitor) yang dikonsumsi menjelang sahur dapat membantu menurunkan produksi asam lambung sepanjang hari. Namun, dr. Andi menekankan bahwa dosis dan jadwal penggunaan obat harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien. Sebagian pasien cukup dengan antasida biasa, sementara yang lain butuh PPI kuat. Ia menganjurkan agar pasien tidak sembarangan meningkatkan dosis sendiri karena efek samping bisa merugikan. Seorang pasien bernama Dian bercerita bahwa ia sempat menambah dosis obat lambung tanpa konsultasi, berujung pada gangguan penyerapan nutrisi dan gangguan pencernaan lain. Setelah berkonsultasi, ia akhirnya menyesuaikan dosis dan jadwal minum obat, dan puasa berjalan lebih lancar.

Pada akhirnya, puasa bagi penderita maag bukanlah sesuatu yang mustahil. Data dari sebuah survei di sebuah pesantren menunjukkan bahwa lebih dari 70% santri yang memiliki riwayat maag ringan dapat menuntaskan puasa sebulan penuh tanpa keluhan berarti, asalkan menjaga pola makan dan istirahat. dr. Andi menilai bahwa keunggulan puasa terletak pada disiplin dan niat yang kuat. Ketika seseorang benar-benar berniat menjaga kesehatan sekaligus menjalankan ibadah, pola hidupnya pun akan menyesuaikan. Mulai dari pemilihan menu sahur yang lembut dan bernutrisi, hingga kebiasaan berbuka yang bertahap, semuanya membantu mencegah lambung dari “kejutan” yang biasanya memicu gejala maag.

Seorang peneliti bernama Sari Kusuma juga menyebutkan bahwa dalam studi lintas budaya, banyak masyarakat Muslim di berbagai negara justru melaporkan kondisi lambung yang lebih baik di akhir Ramadan ketimbang sebelum puasa, terutama mereka yang sebelumnya cenderung makan berlebihan. Hal ini dikaitkan dengan menurunnya frekuensi makan dan meningkatnya kontrol diri terhadap makanan pedas atau asam. Sari menambahkan bahwa beberapa orang mengaku mengalami detoksifikasi alami selama puasa, di mana tubuh dan lambung diistirahatkan dari kebiasaan buruk, seperti mengonsumsi camilan tinggi gula sepanjang hari. Walaupun konsep “detoks” masih menjadi perdebatan, setidaknya kebiasaan buruk yang memicu maag dapat berkurang karena jadwal makan lebih terbatas.

Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah asupan cairan. Menurut Dita, banyak penderita maag yang lupa untuk minum cukup air di antara waktu berbuka dan sahur. Akibatnya, lambung menjadi lebih rentan iritasi karena dehidrasi. Ia menyarankan agar di sela-sela tarawih atau sebelum tidur, seseorang minum air putih secara berkala, bukan sekaligus banyak dalam satu waktu. Tujuannya adalah menjaga kelembapan selaput lendir lambung dan mencegah perut kosong terlalu lama tanpa cairan. Kiat ini terbukti membantu banyak orang merasa lebih nyaman di siang hari saat berpuasa. Dita menyebut bahwa perencanaan asupan air sebaiknya dihitung minimal delapan gelas selama periode non-puasa (yakni dari waktu berbuka hingga sahur), meskipun pembagiannya tentu tergantung kebiasaan individu.***

Kesimpulannya, puasa memang dapat membantu menata kembali kebiasaan makan dan gaya hidup, sehingga memberikan dampak positif bagi penderita maag. Meski demikian, ada beberapa hal yang harus dipersiapkan, mulai dari konsultasi medis, pengaturan jadwal tidur, pemilihan menu yang tepat, hingga manajemen stres. dr. Andi menegaskan bahwa kunci suksesnya adalah disiplin dan kesadaran bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar, melainkan momen mengatur ulang rutinitas hidup secara keseluruhan. Ia menekankan bahwa jika seseorang berhasil memanfaatkan Ramadan untuk menumbuhkan kebiasaan makan sehat, lambung justru bisa lebih kuat pasca-Ramadan. 

Bagi Anda yang ingin mendalami topik serupa atau mencari tips kesehatan lainnya, baca terus artikel menarik di Metavora.co. Puasa bukanlah penghalang bagi penderita maag, tetapi justru kesempatan untuk memperbaiki pola hidup, asalkan dilakukan dengan persiapan dan pengetahuan yang tepat.