SpaceX, perusahaan antariksa milik Elon Musk, dikenal karena inovasi roket yang bisa digunakan ulang, terutama Falcon 9 dan Falcon Heavy. Namun, proyek Starship—roket super berat yang dirancang untuk misi ke Bulan dan Mars—membawa tantangan lebih besar. Setelah kegagalan di penerbangan ketujuh (Flight 7), Starship kembali gagal pada uji coba kedelapan (Flight 8), meledak di udara dan menimbulkan hujan puing di atas wilayah laut. Momen ini seolah menegaskan bahwa “kesuksesan antariksa” masih harus berhadapan dengan kenyataan: eksplorasi luar angkasa bukanlah perkara instan, melainkan proses panjang penuh risiko.
Elon Musk sejak awal menekankan bahwa setiap kegagalan adalah “data berharga” yang membantu penyempurnaan teknologi. Meski terdengar optimistis, fakta di lapangan menunjukkan bahwa ledakan roket berdampak luas, mulai dari kerugian material hingga gangguan penerbangan sipil. Beberapa maskapai seperti Delta, United, dan JetBlue dilaporkan harus mengubah rute untuk menghindari puing. Pihak bandara, termasuk Orlando dan Miami, juga mengalami keterlambatan penerbangan karena area udara sempat ditutup. Artikel ini membedah bagaimana hal itu bisa terjadi, mengapa FAA (Federal Aviation Administration) kembali mengizinkan uji coba meski penyelidikan atas kegagalan sebelumnya belum rampung, serta apa rencana SpaceX selanjutnya.
Kronologi Ledakan dan Dampaknya pada Lalu Lintas Udara
Pada Kamis, 6 Maret 2025, di pantai Boca Chica, Texas, Starship lepas landas sekitar pukul 6:30 p.m. EST. Seperti pada penerbangan sebelumnya, roket terdiri dari dua tahap: Super Heavy Booster dan Starship (upper stage). Tahap awal tampak berjalan lancar, booster bahkan berhasil memutar diri dan mendarat di landasan—sebuah pencapaian yang menegaskan kemampuan SpaceX dalam hal “catch” roket. Namun, segalanya berubah ketika upper stage mencoba melanjutkan penerbangan. Dalam hitungan detik, roket kehilangan kendali, berputar seperti “pinwheel,” lalu meledak di udara.
Dampaknya langsung terasa di ruang udara sekitarnya. FAA segera mengaktifkan “debris response area” untuk memperingatkan pilot. Menurut data FlightRadar24, sejumlah penerbangan komersial harus dialihkan atau menunda keberangkatan. Bandara Orlando (KMCO) mengumumkan ground stop singkat, sedangkan Miami (KMIA) melaporkan keterlambatan dan beberapa penerbangan yang terpaksa kembali ke bandara asal. Bahkan, kabar menyebut bandara di Philadelphia (KPHL) turut terkena dampaknya, menandakan betapa luasnya efek penutupan sementara wilayah udara. FAA menyatakan 171 keberangkatan tertunda rata-rata 28 menit, 28 penerbangan dialihkan, dan 40 lainnya menunggu di udara sekitar 22 menit.
Turks and Caicos Islands Government juga merilis pernyataan bahwa mereka tengah berkoordinasi dengan FAA dan SpaceX untuk menentukan lokasi pasti “rapid unscheduled disassembly”—istilah SpaceX untuk ledakan. Bagi banyak pengamat, insiden ini mengingatkan betapa seriusnya potensi bahaya jika puing roket jatuh di area berpenduduk atau jalur penerbangan sipil.

Apa yang Salah di Penerbangan Kedelapan?
Starship dan Super Heavy, bila ditumpuk, mencapai tinggi lebih dari 120 meter. Keduanya dirancang untuk mendukung misi jarak jauh, seperti pengiriman satelit besar hingga rencana kolonisasi Mars. Pada penerbangan kedelapan ini, booster sukses melakukan pendaratan ulang, tetapi upper stage mengalami kegagalan. Data telemetri menunjukkan bahwa beberapa mesin Raptor mati atau kehilangan daya dorong sebelum waktu yang diharapkan. Alhasil, roket tak dapat mempertahankan stabilitas dan berakhir dalam ledakan.
Belum ada laporan resmi tentang adanya korban jiwa atau kerusakan properti di darat, meski SpaceX dan pihak berwenang masih melakukan investigasi. Elon Musk, yang biasanya cepat memberi komentar, sejauh ini hanya menyebut bahwa ini adalah “kegagalan pada upper stage/ship.” Ia menilai hal itu sebagai “kemunduran kecil” dan meyakini Starship bisa terbang lagi dalam empat hingga enam minggu. Bagi SpaceX, keberhasilan booster menambah keyakinan bahwa teknologi pendaratan ulang roket sudah matang, tinggal menuntaskan persoalan di upper stage.
Sebelumnya, Flight 7 juga berakhir dengan ledakan, di mana SpaceX kemudian menyatakan bahwa roket mengalami kebocoran bahan bakar akibat resonansi berlebihan yang tidak terdeteksi saat uji statis. Pada penerbangan kedelapan, tampaknya lokasi ledakan terjadi di area “aft” Starship (bagian belakang) yang juga menjadi titik lemah di misi sebelumnya. Hal ini menggarisbawahi bahwa perbaikan yang dilakukan SpaceX belum cukup menuntaskan sumber masalah.
Mengapa FAA Tetap Memberi Izin, dan Bagaimana Proses Investigasinya?
Beberapa kalangan mempertanyakan keputusan FAA mengizinkan Flight 8, sementara investigasi Flight 7 belum sepenuhnya rampung. Menurut keterangan resmi, FAA menyatakan telah melakukan “comprehensive safety review” yang menyimpulkan bahwa SpaceX dapat melanjutkan penerbangan uji dengan syarat tertentu. Misi pun berjalan, namun berakhir gagal. Kini, FAA membuka lagi mishap investigation, prosedur standar jika penerbangan tidak sesuai rencana.
Proses ini melibatkan pengumpulan data telemetri, analisis puing, dan koordinasi dengan otoritas terkait. SpaceX biasanya bersikap terbuka, membagikan temuan awal agar komunitas antariksa bisa belajar. Namun, dengan dua insiden berturut-turut, muncul pertanyaan apakah FAA akan memperketat syarat peluncuran berikutnya. Mungkin saja jeda antara penerbangan akan lebih lama, karena FAA perlu memastikan keselamatan publik terjamin—apalagi beberapa maskapai terpaksa mengalihkan penerbangan demi menghindari puing.
Gagalnya Starship: Mengapa Berulang?
SpaceX mengembangkan Starship dalam beberapa blok, di antaranya Block 2 yang digunakan pada Flight 7 dan 8. Roket ini diklaim memiliki kapasitas bahan bakar 25 persen lebih besar dan mesin Raptor yang ditingkatkan. Meski demikian, dua penerbangan berturut-turut justru meledak di tengah udara. Tentu, SpaceX menilai setiap ledakan memberi data penting soal daya tahan struktur, kestabilan mesin, dan sistem kendali.
Jika melihat ke belakang, Falcon 9 dan Falcon Heavy juga mengalami insiden sebelum stabil. Elon Musk kerap menegaskan bahwa “kegagalan adalah opsi” dalam proses inovasi. Namun, skala Starship jauh lebih besar, menuntut sinkronisasi puluhan mesin. Satu saja mesin bermasalah, bisa memicu reaksi berantai. Tekanan publik juga lebih tinggi karena Starship berpotensi menjadi lander NASA untuk misi Bulan (Artemis). Makin banyak ledakan, makin panjang jalan SpaceX menuju realisasi pendaratan di Bulan.
Dampak pada Rencana Masa Depan
NASA menaruh harapan besar pada Starship untuk program Artemis, terutama pendaratan manusia di Bulan sekitar 2027. Selain itu, SpaceX ingin mempercepat frekuensi peluncuran Starship untuk menguji pengisian bahan bakar di orbit dan berbagai misi komersial. Kegagalan berulang tentu memperlambat timeline. Mereka perlu menyelesaikan dua investigasi sekaligus (Flight 7 dan Flight 8) sebelum mengantongi izin baru.
SpaceX menargetkan pendaratan manusia di Mars pada 2030-an, tetapi setiap ledakan menandakan masih banyak PR teknis. Walau begitu, Musk tetap optimistis, menegaskan bahwa “progres diukur lewat waktu,” bukan sekadar sukses-gagal. Baginya, satu keberhasilan nanti bisa melampaui rentetan kegagalan yang pernah terjadi. Meski terdengar visioner, sikap ini memunculkan pro-kontra. Ada yang mengagumi keteguhan Musk, ada pula yang menilai SpaceX terlalu berisiko.
Perspektif Maskapai dan Bandara: Diversi, Ground Stop, dan Penundaan
Ledakan Flight 8 bukan hanya urusan SpaceX, tetapi juga mengganggu penerbangan sipil. FAA mengaktifkan debris response area, memaksa bandara seperti Orlando (KMCO) dan Miami (KMIA) melakukan ground stop. Beberapa penerbangan Delta, United, JetBlue dialihkan atau kembali ke asal. Philadelphia (KPHL) bahkan dilaporkan terkena dampak keterlambatan.
Data FAA menyebutkan 171 keberangkatan tertunda rata-rata 28 menit, 28 penerbangan dialihkan, dan 40 pesawat lainnya dipaksa berputar (holding pattern) hingga 22 menit. Walau tampak kecil dibanding total penerbangan harian, insiden ini menyoroti betapa krusialnya keamanan ruang udara saat ada roket berpotensi meledak. Pihak bandara menegaskan bahwa ini untuk melindungi keselamatan penumpang. Sementara itu, Turk and Caicos Islands Government menyatakan sedang berkoordinasi dengan FAA untuk memastikan lokasi jatuhnya puing.
Bagaimana Tanggapan Elon Musk secara Khusus?
Elon Musk, dikenal kerap mencuit di media sosial, sempat menyebut kejadian ini sebagai “minor setback.” Ia memuji keberhasilan booster mendarat ulang, sambil mengakui upper stage mengalami “failure” yang belum dipahami sepenuhnya. Menurutnya, data dari dua ledakan berturut-turut akan mempercepat perbaikan desain. Ia pun memperkirakan empat hingga enam minggu lagi Starship bisa terbang lagi, walau banyak pengamat menilai jangka waktu itu terlalu optimistis, mengingat perlu proses investigasi FAA.
Musk menegaskan, “Progress is measured by time,” menandakan bahwa bagi SpaceX, kecepatan iterasi adalah kunci sukses. Mereka tidak mau terjebak dalam satu desain yang aman tapi lamban berkembang. Namun, kritikus menilai kecepatan ini mengabaikan risiko lingkungan dan keselamatan penerbangan. Bagaimanapun, reputasi Musk sebagai inovator gila kerap membuatnya dicintai pendukung, tapi juga dicurigai pihak yang mengutamakan prosedur ketat.
Apakah “Failure is an Option” Akan Terus Berlanjut?
Spirit “Failure is an option” sudah lama melekat pada SpaceX, di mana kegagalan dianggap wajar selama memberikan pembelajaran teknis. Falcon 9, misalnya, gagal beberapa kali sebelum menjadi roket paling andal di dunia saat ini. Bagi penggemar SpaceX, pendekatan ini membuahkan hasil nyata. Namun, Starship membawa risiko lebih besar: roketnya jauh lebih masif, tujuannya ke Mars, dan melibatkan kerja sama NASA. Makin banyak ledakan, makin besar pula dampak finansial dan regulasi.
SpaceX tetap yakin cara mereka—menguji roket “secara nyata” di lapangan—lebih efektif daripada menghabiskan waktu panjang di simulasi. Ini memang sejalan dengan falsafah “build, test, fail, fix.” Namun, publik masih menunggu bukti sukses roket raksasa ini minimal bisa mencapai orbit. Jika kelak Starship berhasil, niscaya SpaceX akan mendominasi era baru penerbangan antariksa. Bila terus gagal, mungkin Elon Musk harus meninjau ulang strategi uji terbangnya.
Kegagalan kedua peluncuran Starship menegaskan betapa kompleksnya misi luar angkasa. Meski SpaceX punya segudang prestasi—dari Falcon 9 hingga kargo ISS—proyek Starship masih penuh liku. Data dari ledakan Flight 7 dan Flight 8 diharapkan menjadi landasan perbaikan desain, kendati menimbulkan efek samping: penundaan jadwal, gangguan penerbangan sipil, dan pertanyaan publik soal keamanan. Elon Musk menilai ini “kegagalan yang membangun,” menegaskan bahwa SpaceX tak gentar untuk terus melaju.
Bagi kita, ini bukti bahwa inovasi tingkat tinggi menuntut keberanian, ketekunan, dan kesiapan menanggung risiko. Dalam dunia penerbangan antariksa, setiap langkah maju bisa diiringi satu-dua ledakan. Pada akhirnya, apakah Starship akan mewujudkan mimpi kolonisasi Mars, atau perlu lebih banyak waktu? Hanya waktu yang menjawab. Yang jelas, industri aviasi dan sains akan terus memantau, sambil berharap SpaceX benar-benar mampu menembus batas dan membuka era baru eksplorasi antariksa.***
Ingin tahu lebih banyak seputar perkembangan roket, teknologi penerbangan, dan inovasi futuristik lainnya? Kunjungi Metavora untuk membaca artikel-artikel mendalam, ulasan pakar, dan liputan teranyar tentang dunia dirgantara. Bersama Metavora, perluas wawasan Anda dalam dunia sains dan teknologi yang semakin dinamis.